Kamis, 06 Oktober 2011

PEWAYANGAN

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.

Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan.

Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma (1433 / 1511 M), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.

Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati" atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana.

Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa.

Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris. Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal (1553 J / 1671 M).

Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.

Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.

Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri. Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.

Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh. Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih.

Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .

Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.

Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai-nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan.

Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.

Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.

diambil dari www.indonesiaindonesia.com

Rabu, 05 Oktober 2011

Tentang Saya

Mengenai Saya

Foto Sayaass.. salam hangat dari saya Bagus Sigit Pamungkas, biasa di panggil "Bagus". Tentang saya dengan membuat Blog ini,. ingin mengenalkan dunia perwayangan didunia internet ini, agar dunia wayamng tidak hanya dikenal didunia luar sana, tetapi juga dikenal oleh semua lapisan masyarakat yang ada di dunia ini. Tujuan blog ini juga untuk "Nguri- uri " budaya dan tradisi , yang hampir hilang di jaman yang Katanya Modern ini , untuk itu saya berharap dan sangat ingin, kebudayaan yang sudah ada sejak nenek moyang dulu, agar tidak hilang karena adanya era globalisasi yang kian hari kian masuk dikehidupan sehari hari. karena Kebudayaan Adalah Cerminan dari diri kita untuk lebih baik .. semangat selalu... demi mempertahankan Budaya Kita wss..

BALADEWA

Baladewa dalam Pewayangan Jawa

SEJARAH PEWAYANGAN

Sejarah Pewayangan Di Indonesia

wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang  di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa  dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa  dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan  (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru  wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan  sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’  berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan  begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan  oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi  mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’    (cerita tentang asal-usul semar, misalnya,     ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari

KISAH RADEN WERKUDARA

Raden Werkudara (kisah lengkap sang Bima)

   Posted by: bimo   in Bima, Pandawa
werkudaraRaden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.
Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut. Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata atau Tirtanata.
Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga, Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.
Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).
Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.
Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.
Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya, sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri sebrang itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.” Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.
Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras. Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur mulai membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak, dan adik-adiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura, yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini. Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan. Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki…” (Duh cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.
Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi. Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna, makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba seseorang.
Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu, putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar.
Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.
Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.
Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang menyamar.

Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya, disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati, Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci.
Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.
Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma, memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.
Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki Aji Blabak pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata, Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut bertambah kuat.

Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang dikuliti.
Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri, Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala, karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat, ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan segala pukulan Gada Rujak Polonya. Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri nya. Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang hancur.
Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra, diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi Kunti. Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putra-putranya yang berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi Brahala.
Akhir riwayatnya, Werkudara mati moksa bersama-sama saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi.
Wayang Bima ditampilkan dalam beberapa wanda yaitu wanda Mimis, Lintang, Lindu Panon, Lindu Bmabang, Tatit, Ketug, Jagor, Kedu, Gandu, Jagong, Bedil, Mbugis, dan Gurnat.